Robohnya Surau Kami adalah buku kumpulan cerpen karya A. A. Navis, sastrawan dan budayawan asal Sumatera Barat. Ada sepuluh judul cerpen di dalamnya dengan tema atau cerita yang berbeda-beda. Kesemuanya, menurut saya, berisi kritik sosial terhadap fenomena sosial-kemasyarakatan, etika, politik, budaya atau cara beragama yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di tanah Minang, tempat lahir penulis.
Robohnya Surau Kami, yang menjadi judul buku ini, diambil dari salah satu judul cerpen di dalamnya yang terletak pada urutan pertama, membahas fenomena yang disebutkan pada paragraf terakhir di atas. Buku kumpulan cerpen yang terbit pertama kali pada tahun 1956 ini adalah salah satu masterpiece sastra Indonesia yang banyak dijadikan rujukan atau kajian para pengkaji sastra.
Sekilas tentang Robohnya Surau Kami
Robohnya Surau Kami adalah kritik sosial bagi seorang muslim yang taat beribadah dan giat menjalankan ritual keagamaan, tapi melupakan hak dan tanggungjawab sosial, bahkan untuk dirinya sendiri. Oleh penulis, oknum muslim tersebut, digambarkan dengan kehidupan seorang laki-laki tua penjaga surau -- orang memanggilnya Kakek -- yang tak digaji dan hidup dari sedekah orang lain. ("Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah.." [hal. 1])
Suatu hari, Kakek terlihat gusar dan naik pitam. Ternyata semua itu karena ulah Ajo Sidi, tokoh dalam cerita ini yang mempunyai sifat pembual atau pembohong. Ketika bertemu dengan Kakek, Ajo Sidi bercerita -- lebih tepatnya membual -- tentang seorang ahli ibadah bernama Haji Saleh yang oleh Tuhan di masukkan ke dalam neraka. Padahal, saat antri menunggu hisab dari Tuhan, Haji Saleh merasa aman dan yakin masuk surga, karena merasa cukup dengan ibadah yang selama ini ia kerjakan. Bahkan, saking yakinnya masuk surga, "dan ketika ia melihat orang yang masuk surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan 'selamat ketemu nanti '.." [hal. 6].
Ketika tiba gilirannya dihisab, Haji Saleh tersenyum bangga menghadap Tuhannya. Tuhan pun mengajukan satu pertanyaan yang diulang-ulang untuk menegaskan, "Engkau?" "Apa kerjamu di dunia?" "Lain?" "Lain lagi?" "Tak ada lagi?" [hal. 6-8]. Pertanyaan itu dijawab oleh Haji Saleh dengan menceritakan penuh bangga amal ibadahnya selama di dunia: naik haji, beribadah, dzikir, tidak maksiat dan membaca Al-Qur'an, di antaranya. Tapi anehnya, Haji Saleh tak mengerti, tiba-tiba ia dilemparkan ke neraka.
Lebih terkejut lagi, di neraka Haji Saleh bertemu dengan teman-temannya yang ibadahnya juga seperti dirinya, bahkan di antaranya ada yang empat belas kali naik haji ke Mekkah. Di hadapan teman-temannya, Haji Saleh menyampaikan protes, "Bagaimana Tuhan kita ini? kata Haji Saleh kemudian, 'Bukannya kita disuruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka." [hal. 8].
Singkat cerita, Haji Saleh dan teman-temannya "mengajukan banding" pada Tuhan. Ia sampaikan segala argumentasi dan ketidakpuasannya dengan keputusan Tuhannya. Meminta ditinjau kembali!
Dengan pertanyaan retoris, Tuhan menanggapi gugatan Haji Saleh dan teman-temannya itu, "Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!" [hal. 11-12].
Ternyata, cerita karangan Ajo Sidi ini ditanggapi oleh Kakek dengan serius. Kakek tersinggung dan marah, entah kenapa ia merasa bahwa Ajo Sidi sedang menyindir dirinya dengan memakai karakter Haji Saleh -- ini memang keahlian Ajo Sidi [hal. 3]. Melalui cerita itu pula, Kakek merasa, Ajo Sidi hendak bilang bahwa kelak dirinya jadi "umpan neraka" [hal. 5]. Saking tersinggungnya, sampai ada keinginan dalam hati Kakek untuk membunuh Ajo Sidi. "Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasa tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya." [hal. 4]. Tapi hal itu tak ia lakukan, karena takut membuat imannya hilang dan ibadah yang ia lakukan selama ini sia-sia [hal. 4]
Tragisnya, di akhir cerita, justru kakek yang selama ini taat beribadah dan menjalankan agama mengakhiri hidupnya dengan menggorok lehernya sendiri dengan pisau cukur di dalam suraunya, dengan posisi tersungkur, bersujud. "Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur." [hal. 13].
Cerpen Robohnya Surau Kami ini, menurut saya, mengingatkan kita agar tidak hanya fokus dengan kesalehan individual, kesalehan yang sifatnya hanya untuk kepentingan pribadi, beribadah yang efeknya hanya untuk diri sendiri dengan tidak memikirkan kepentingan atau kebutuhan orang-orang di sekitarnya, khususnya yang menjadi tanggung jawabnya -- kita menyebutnya kesalehan ritual. Sibuk dengan mensalehkan diri sendiri dan melupakan fenomena atau kondisi yang terjadi di sekitarnya: membiarkan anak-cucu dalam kemelaratan [hal. 5], tak peduli kekayaan negara dirampok orang lain, malas bekerja karena alasan ibadah, [hal. 11-12] dan merasa bahwa yang demikian itu adalah bentuk sabar dan tawakal [hal. 4].
Kita tak hendak mengatakan bahwa mensalehkan diri dengan melakukan ibadah, menjalankan perintah agama dan meninggalkan yang dilarangnya adalah salah. Tapi yang dikritik oleh penulis cerpen ini adalah sikap egoistis dalam beribadah dan kesalehan, yang tak memperdulikan dengan kondisi keluarga atau lingkungan di sekitarnya, apakah baik atau tidak, selamat atau tidak, aman atau tidak, pokoknya yang penting dirinya bisa selamat dari api neraka [hal. 12]. Jadi, dalam menjalani kehidupan beragama kita dituntut seimbang. Kita salehkan diri dengan ibadah ritual atau individual: shalat, puasa, tilawah dan lain sebagainya, tapi juga kita salehkan diri dengan ibadah sosial: mencari nafkah, bersedekah, berinfaq, berwaqaf, bermuamalah dan lain sebagainya. Gus Mus menyebutnya, sebagaimana judul bukunya, dengan saleh ritual dan saleh sosial.
Baca Juga :
- Sejahterakan Masjid jangan dipolitisasi
- Kemenag menghadiri undangan ramah tamah FKPAI
- Pelatihan membaca Al-Qur'an metode Quantum
Terakhir, yang tak kalah penting, dalam menjalankan perintah atau larangan Tuhan harus dilandasi dengan rasa mahabbah (cinta), bukan rasa takut sebagaimana takutnya bawahan dengan atasan. Jika ketaatan itu dilandasi cinta, ia akan menjalankan sepenuh jiwa dan tak berharap apapun kecuali cintanya. Sebaliknya, jika ketaatan itu didasari rasa takut, ia akan menjalankan dengan tertekan dan tak bergairah. Ketika di kemudian hari ketaatannya itu, menurutnya, tak berbalas kebaikan, justru kemalangan dan kesedihan, ia pun putus asa dan menganggap Tuhan tidak adil. Bisa jadi, keberanian Kakek mengakhiri hidupnya dengan menggorok lehernya sendiri dikarenakan mengalami hal yang terakhir ini. Wallahu A'lam
Putussibau, 9 Desember 2023
Allan Elhamasah