Sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki jumlah masjid yang sangat besar dengan beragam tipologi, mulai dari Masjid Negara (Masjid Istiqlal), Masjid Raya tingkat provinsi, Masjid Agung level kabupaten/kota, Masjid Besar kecamatan, hingga Masjid Jami’ di desa-desa.
![]() |
Menag RI Yaqut Cholil Qoumas bahas fungsi masjid pada Rakernas BKM 2023 di Asrama Haji Pondok Gede |
Menurut Data Sistem Informasi Masjid (Simas) Kementerian Agama, saat ini terdapat 663.729 masjid/musala di Indonesia. Masjid-masjid ini memiliki peran sentral dalam menyampaikan informasi keagamaan, membentuk paham keagamaan, dan menyatukan umat (jaami’). Fungsinya melibatkan aspek sosial, edukatif, ekonomis, selain sebagai tempat ibadah bagi muslimin.
Beberapa masjid telah dikelola dengan baik dan memiliki berbagai keunggulan, sementara yang lain masih belum mengadopsi manajemen profesional. Sebagian masjid mungkin masih menghadapi keterbatasan daya, memerlukan renovasi dan pembangunan fisik. Dukungan pemikiran diperlukan untuk meningkatkan kondisi imam, muadzin, khatib, penceramah, hingga marbot.
Sayangnya, di beberapa daerah, masjid menjadi pusat kontestasi yang memecah belah, bahkan menjadi ruang politisasi. Padahal, pada hakikatnya, masjid memiliki makna jaami’, yaitu melingkupi atau menyatukan.
Mengenai hal ini, saat membuka Rakernas Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) pada 8 November 2023 di Istana Kepresidenan, Presiden Joko Widodo menyampaikan dua pesan.
Pertama, agar masjid tidak hanya digunakan untuk kegiatan keagamaan, melainkan juga menjadi pusat kegiatan sosial, ekonomi, dan berbagai kegiatan lain yang bermanfaat bagi masyarakat.
Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan hal ini dengan mendirikan Masjid Quba di Madinah, yang juga turut mendorong kemajuan peradaban kota Madinah sebagai tempat berunding untuk kemaslahatan umat.
Pesan kedua dari Presiden adalah bahwa pengurus BKM harus mampu menjaga agar masjid tidak digunakan sebagai tempat berpolitik praktis, melainkan politik tingkat tinggi. Hal ini sejalan dengan prinsip yang dicontohkan Rasulullah. Pada masa itu, masjid menjadi tempat diskusi politik untuk menyatukan umat, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Sayangnya, fenomena masa kini berbeda. Beberapa orang melakukan politisasi masjid dengan pesan dan aktivitas yang cenderung memecah belah dan memperpecah umat.
Konsolidasi politik di masjid yang merusak persatuan umat tidak sesuai dengan teladan Rasulullah dan harus diatasi. Pengurus BKM perlu mengambil peran dalam menjelaskan hal ini.
Untuk menghadapi situasi ini, penguatan organisasi kemasjidan menjadi penting. Revitalisasi Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) dianggap sebagai pilihan kebijakan, dengan sejumlah langkah yang telah dipersiapkan.
Langkah pertama adalah mengkoordinasikan para Kakanwil Kemenag Provinsi untuk mulai menyusun dan membentuk BKM dari tingkat provinsi hingga kelurahan/desa. Saat ini, telah terbentuk 1 BKM Pusat, 34 BKM provinsi, 421 BKM kabupaten/kota, 3.452 BKM kecamatan, dan 17.629 BKM kelurahan/desa, sehingga totalnya terdapat 21.537 lembaga BKM di Indonesia.
Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) terdiri dari para penggerak dan pemakmur kemasjidan, dengan pengurus yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Anggotanya mencakup unsur Kementerian Agama, Pemerintah Daerah, ormas Islam, serta para pemuka agama seperti kiai, dai/daiyah, dan penyuluh agama, yang tersebar di seluruh Indonesia.
Langkah kedua melibatkan penyusunan program pengembangan kemasjidan, mencakup kegiatan programatik dan penataan identitas organisasi. BKM bertujuan untuk memakmurkan masjid dan menyebarkan dakwah Islam, dengan landasan iman, takwa, serta prinsip Pancasila, di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Langkah ketiga melibatkan penyusunan, pembahasan, dan penerbitan sejumlah regulasi. Saat ini, payung hukum yang berlaku adalah Peraturan Menteri Agama Nomor 54 Tahun 2006 yang mengatur Organisasi dan Tata Kerja BKM. Regulasi ini menetapkan status BKM sebagai badan semi-resmi di bawah Kementerian Agama.
Untuk memperkuat landasan hukumnya, dianggap perlu untuk meningkatkannya menjadi Peraturan Presiden. Hal ini akan menjadikan regulasi sebagai acuan hukum yang kokoh untuk pembentukan BKM sebagai Lembaga Non-Struktural di bawah Kementerian Agama, sebagaimana yang berlaku untuk Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI).
Menghadapi masa depan, BKM diharapkan dapat terus meningkatkan peran dan fungsi masjid sebagai tempat ibadah dan sarana pembinaan umat Islam, sehingga membentuk masjid yang Profesional.
Sumber : Kemenag RI